Jumat, 14 Desember 2018

Mengenal Suku Laut di Kabupaten Bintan


Suku Laut yang dibahas dalam tulisan ini adalah suku bangsa yang bertempat tinggal diperahu dan hidup mengembara di Perairan Provinsi Riau dan Pantai Johor Selatan. Dalam perkembangannya, Provinsi Riau mekar menjadi Provinsi Kepulauan Riau. Orang Suku Laut yang dulunya hidup mengembara berubah menjadi hidup menetap.

Istilah Orang Laut yang disepakati orang Melayu ini bukan hanya berlaku bagi Orang Suku Laut sebagai masyarakat pengembara lautan (sea forager), tetapi juga diberikan kepada mereka yang hidup di sepanjang pesisir pantai di Kepulauan Riau. Mereka ini awalnya merupakan bagian dari Suku Laut, namun telah dimukimkan oleh pemerintah Orde Baru pada periode pembangunan daerah tertinggal di akhir 1980-an.

Populasi dan Persebaran

Tahun 1993, Orang Suku Laut tersebar di dua kecamatan.Yakni, Kecamatan Bintan Timur dan Bintan Utara. Di Bintan Utara lokasinya di Pulau Mapur dan Berakit.Sedangkan di Bintan Timur ada di empat pulau.Yaitu, Air Kelubi, Pulau Toi, Pulau Tanjung Sengkuang dan Pulau Malen. Tahun 2017, Orang Laut di Bintan persebarannya tak jauh berubah. Orang laut ada di Berakit (Kecamatan Teluk Sebong), Air Kelubi (Kecamatan Bintan Pesisir), Numbing (Bintan Pesisir), Kawal Pantai (Gunung Kijang) dan Mapur (Teluk Sebong). Di Kampung Panglong, Berakit ada 75 KK Orang Laut. Di Air Kelubi ada 40 KK, di Kawal ada belasan KK.Sementara Mapur ada beberapa KK.

Kehidupan Orang Suku Laut Bintan

Orang laut memiliki tiga pola aktivitas kehidupan yang ada relasinya dengan permukiman mereka. Pertama, mereka mencari ikan di dekat kampung. Kedua, mereka melakukan perjalanan berhari-hari ke lokasi yang agak jauh dari kampungnya. Tiga, mereka berkelana ke tempat yang sangat jauh dari tempat tinggalnya dan memakan waktu berbulan-bulan sebelum akhirnya mereka kembali ke kampungnya. Untuk pola terakhir, hampir tidak ada lagi Orang Laut di Bintan yang melakukan.Mereka rata-rata bekerja sebagai nelayan yang daerah tangkapannya tak di sekitar Perairan Bintan.

Kelahiran

Proses kelahiran Orang Laut dulunya di dalam sampan. Biasanya bidan yang membantu proses membantu persalinan sudah diminta keluarga untuk ikut mendampingi calon ibu. Bidan itu Orang Suku Laut. Meski disebut bidan, orang ini adalah semacam dukun beranak. Ia ikut naik sampan setelah melihat tanda-tanda waktu melahirkan sang ibu sudah dekat. Pada Orang Suku Laut yang sudah menetap di darat dan sudah memeluk agama Islam atau Kristen, prosesi upacara kelahiran sesuai ajaran agama masing-masing dan dilakukan di puskesmas atau rumah 

Perkawinan

Di masa lalu, Orang Laut semenjak masa pertumbuhan anak-anak mereka biasanya telah .“dijodohkan” dengan sepupu satu atau sepupu dua dari kerabat dekat. Namun sekarang, pertunangan dan perkawinan dilakukan setelah mereka menginjak masa dewasa dan tidak selalu dengan sepupu.

Pesta perkawinan lokasinya di dua tempat.Kedua pengantin duduk bersila di dalam sampan.Ada juga atraksi pencak silat seperti tradisi Melayu.Lokasinya di tepi pantai.Keluarga pengantin dan saudara, serta tamu undangan yang semuanya naik sampan merapat ke darat untuk menyaksikan atraksi pencat silat

Kematian

Kematian bagi Orang Suku Laut bukan akhir dari kehidupan. Mereka meyakini kematian sebuah jalan bagi seseorang untuk pindah dari dunia nyata ke dunia tidak nyata, yaitu dunia roh. Ada dua bentuk upacara kematian. Pertama, bagi Orang Suku Laut yang sudah tinggal menetap dan memeluk agama tertentu. Kedua, bagi Orang Suku Laut yang masih mengembara dan meninggalkan rumahnya untuk hidup di laut. Secara umum prosesinya tak jauh beda dengan penguburan Orang Islam.

Orang Laut di Bintan yang hidupnya belum menetap di darat tak memiliki lokasi makam atau pekuburan yang tetap.Saat ada yang meninggal dunia, pihak keluarga memakamkan di pulau terdekat.Jenazah dikuburkan di dalam tanah.Ada papan keranda dan jenazah dimasukkan dalam kain. Cara pemakamannya seperti cara Islam. Bedanya, tak ada sholat jenazah dan doa.

Kepercayaan

Dalam buku Masyarakat Terasing di Indonesia tulisan Koentjaraningrat, dkk terbitan Gramedia, tahun 1993 dipaparkan bagaimana sistem kepercayaan Orang Suku Laut di Kepri. Religi yang mengatur perilaku orang Laut mengandung konsep dasar animisme-shamanisme tetapi tidak meliputi semua aspek kehidupan mereka. Keyakinan mengenai hal-hal yang bersifat gaib mempengaruhi perilaku menanggapi ruh-ruh, kekuatan-kekuatan gaib, hari baik dan naas, hantu-hantu, mambang dan peri, dan sekaligus mencerminkan kekhawatiran mereka terhadap berbagai ancaman dunia gaib yang dapat merugikan atau mencelakakan kehidupan mereka.
Dunia ruh tempa tinggal para hantu, mambang dan peri, identik dengan tempat-tempat tertentu. Hampir semua orang Laut yakin bahwa ruh Datuk Kemuning dan isterinya, yaitu saka (leluhur) datuk-moyang orang Laut, bersemayam di Gunung Daik (Lingga). Ruh-ruh para anggota keluarga berada di tanjung, di pantai, kuala, suak, atau di bukit-bukit berbatu. Agar mereka aman melewati tempat-tempat tersebut, orang Laut selalu memberi pemakan (sesaji), atau mereka minum air laut sedikit di tempat tersebut untuk menandakan bahwa mereka adalah “orang sendiri”, dan karena itu mereka berharap agar mereka tidak diganggu.






Daftar Pustaka
Ahmad Dahlan, P.hD, Sejarah Melayu. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2014
Azmi, Putri Pandan Berduri, Asal Mula Persukuan di Pulau Bintan. Yogyakarta:Adicita Karya Nusa, 2005.
Eva Warni, Sindu Galba, Kearifan Lokal Masyarakat Adat Orang Laut di Kepulauan Riau. Tanjungpinang: Balai Kajian Sejarah dan Nilai Tradisional Tanjungpinang 2005
kebudayaan.kemdikbud.go.id

Share:

0 komentar:

Posting Komentar

Popular Posts

Copyright © CIBIRAN HALUS | Powered by Blogger

Design by ThemePacific | Blogger Theme by NewBloggerThemes.com